Di tepi pantai selatan Jawa Timur, deru ombak bersahutan dengan suara mesin aerator yang berputar sepanjang malam. Di atas lahan yang dulunya tandus dan nyaris tak terjamah, berdiri sederet kolam tambak berair jernih. Dari kejauhan, tak ada yang menyangka bahwa di balik pemandangan itu, tersimpan kisah seorang anak muda bernama Paundra Noorbaskoro sosok yang mengubah cara pandang orang terhadap budidaya udang di Indonesia.
Bertahun-tahun lalu, nama Paundra mungkin tak berarti banyak di dunia perikanan. Tapi kini, ia dikenal sebagai pembudidaya udang vaname yang tak hanya sukses secara ekonomi, melainkan juga pelopor teknologi budidaya ramah lingkungan di daerah pesisir Pacitan. Kisahnya bukan hanya tentang inovasi, tapi juga tentang keberanian untuk gagal, bangkit, dan kembali mencoba dengan cara baru.
Dari Gagal Panen ke Arah Baru

Perjalanan Paundra dimulai dengan kegagalan.
Ketika pertama kali mencoba budidaya udang secara konvensional, hasilnya jauh dari harapan. Panen gagal berulang kali. Udang mati, air keruh, biaya membengkak. Ia sempat berpikir untuk menyerah. Namun, alih-alih berhenti, Paundra justru memilih mencari tahu mengapa tambaknya gagal.
Ia membaca banyak literatur, berdiskusi dengan ahli, dan mulai memahami bahwa faktor utama yang menentukan keberhasilan budidaya bukan sekadar pakan atau modal besar, melainkan pengelolaan ekosistem air. “Air adalah nyawa tambak,” begitu ia sering berkata kepada rekan-rekannya.
Dari sanalah ide tentang teknologi berbasis data muncul. Paundra kemudian mengembangkan sistem monitoring menggunakan sensor Internet of Things (IoT) yang dapat mengukur suhu, kadar oksigen, salinitas, dan pH air secara real time. Semua data itu tersimpan di aplikasi yang bisa diakses melalui ponsel. Dengan begitu, ia bisa mengetahui kapan air harus diganti, kapan udang perlu diberi pakan, atau kapan aerator harus dihidupkan.
Tambak Pintar dan Ramah Lingkungan
Namun bagi Paundra, teknologi saja tidak cukup. Ada tanggung jawab yang lebih besar: menjaga keseimbangan lingkungan.
Banyak tambak tradisional yang membuang air limbah langsung ke laut tanpa diolah terlebih dahulu. Akibatnya, terjadi pencemaran dan penyakit yang menyebar ke tambak lain. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan itu. Maka, ia membangun sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di setiap unit tambaknya.
Sebelum air dibuang, air limbah itu melalui proses penyaringan dan netralisasi. Probiotik alami dan mikroorganisme dimasukkan untuk memecah sisa pakan dan kotoran udang. Hasilnya? Kualitas air di sekitar tambak tetap baik, udang lebih sehat, dan lingkungan tidak tercemar.
Selain itu, Paundra juga membuat formula pakan fermentasi dengan mineral dan probiotik untuk meningkatkan daya tahan udang tanpa bahan kimia sintetis. Langkah ini bukan hanya menekan biaya produksi, tapi juga menjadikan hasil panennya lebih berkualitas.
Dengan sistem ini, tingkat kelangsungan hidup (survival rate) udang bisa mencapai hingga 90 persen, jauh di atas rata-rata tambak tradisional. Produksi meningkat, sementara dampak ekologis menurun. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep “smart farm village”, sebuah model tambak terpadu yang menggabungkan teknologi, efisiensi, dan keberlanjutan lingkungan.
Dampak Sosial yang Menghidupkan Kembali Harapan Pesisir

Di balik teknologi yang canggih, ada sisi kemanusiaan yang tak kalah menarik.
Paundra tidak bekerja sendirian. Ia melibatkan warga pesisir Pacitan — para pemuda yang sebelumnya hanya menjadi buruh tambak atau bahkan menganggur. Melalui pelatihan yang ia buat, mereka belajar mengelola tambak modern, membaca data dari sensor, hingga mengoperasikan sistem IPAL.
Kini, sebagian besar pekerja di tambaknya berasal dari masyarakat sekitar. Pendapatan mereka meningkat, pola pikir pun berubah. Dari sekadar pekerja tambak tradisional, mereka bertransformasi menjadi operator tambak berbasis teknologi.
“Kami jadi tahu cara baca angka-angka di aplikasi itu. Ternyata seru juga, sekarang kami bisa tahu kenapa air tambak berubah warna, kapan waktunya diberi pakan,” ujar salah satu pekerjanya sambil tersenyum ketika ditemui wartawan.
Tak hanya menciptakan lapangan kerja, Paundra juga membuka peluang investasi bagi siapa pun yang tertarik di bidang ini melalui platform digital yang ia kembangkan. Lewat sistem tersebut, para investor bisa menanamkan modal dan memantau perkembangan budidaya secara transparan. Model ini membuat bisnis tambak lebih terbuka, sekaligus memberi kepercayaan baru pada sektor perikanan rakyat.
Budidaya Berbasis Data, Masa Depan yang Sudah Dimulai
Konsep “tambak pintar” yang dikembangkan Paundra kini mulai banyak dilirik.
Di beberapa daerah lain, petambak mulai meniru model yang sama: memadukan IoT, IPAL, dan manajemen pakan berbasis data. Pemerintah daerah pun mulai memberikan dukungan berupa pelatihan dan akses pendanaan.
Namun bagi Paundra, inovasi ini bukan soal siapa yang pertama, tapi bagaimana teknologi bisa menyatu dengan kearifan lokal. Ia percaya, teknologi seharusnya memudahkan, bukan menggantikan manusia.
“Tambak itu harus tetap manusiawi,” katanya suatu kali dalam wawancara. “Teknologi membantu kita membaca alam, tapi yang mengolah tetap hati dan pengalaman.”
Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi mengandung filosofi yang dalam: bahwa di balik semua alat canggih dan data digital, keberhasilan sejati tetap berakar pada ketulusan menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan rezeki yang datang darinya.
Dari Pacitan untuk Indonesia
Kini, Paundra mengelola lebih dari 20 kolam tambak dengan luas mencapai 10.000 meter persegi di wilayah Pacitan. Produksi udang vaname-nya telah menembus pasar nasional, bahkan menarik perhatian dari berbagai pihak yang tertarik meniru konsepnya.
Yang paling membanggakan, keberhasilannya bukan sekadar soal keuntungan. Paundra telah menunjukkan bahwa pertanian dan perikanan tidak harus merusak alam untuk maju. Bahwa generasi muda pun bisa menjadi pelopor inovasi di sektor tradisional, asalkan mau belajar dan berpikir berbeda.
Inovasinya menjadi bukti bahwa dari pinggir pantai yang jauh dari hiruk pikuk kota besar, lahir ide besar yang mampu mengubah wajah budidaya udang Indonesia.
Penghargaan dari SATU Indonesia Awards
Atas dedikasi dan kontribusinya tersebut, Paundra Noorbaskoro dinobatkan sebagai salah satu penerima SATU Indonesia Awards, sebuah penghargaan tahunan dari PT Astra International Tbk yang diberikan kepada anak muda Indonesia yang berprestasi dan berdampak positif bagi masyarakat.
Program ini telah berlangsung sejak 2010 dan bertujuan untuk mengapresiasi para inovator muda di berbagai bidang seperti pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, kesehatan, dan teknologi. Melalui penghargaan ini, Astra ingin menunjukkan bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil, bahkan dari pinggir pantai Pacitan, seperti yang dilakukan Paundra.
Penutup
Malam mulai turun di Pacitan. Di atas permukaan kolam, lampu-lampu kecil memantul seperti bintang di air. Paundra berdiri di tepi tambak, memandangi gelembung-gelembung udara dari mesin aerator yang terus bekerja.
Bagi sebagian orang, itu hanyalah kolam udang biasa. Tapi bagi Paundra, itu adalah simbol harapan, harapan bahwa masa depan pertanian dan perikanan Indonesia bisa lebih cerdas, lebih bersih, dan lebih berkelanjutan.
Dari pinggir pantai yang sunyi, ia membuktikan bahwa perubahan sejati tak selalu datang dari gedung-gedung tinggi, melainkan dari tangan mereka yang mau belajar, mencoba, dan peduli terhadap alam.
Referensi:
https://www.satu-indonesia.com/satu/satuindonesiaawards/finalis/pembudidaya-udang-ramah-lingkungan-berbasis-teknologi/
https://www.dwipuspita.com/2023/08/terobosan-paundra-untuk-nelayan.html
https://www.indonesiana.id/read/165133/bahu-membahu-untuk-jadi-produsen-udang-nomor-satu
https://www.kompasiana.com/s_wulandarii/6528c07cedff767e6d2a0e92/sensor-kualitas-air-laut-tingkatkan-produktivitas-petani-udang